Jumat, 20 Februari 2015

Kisah Pengusaha Kaca Ukir yang Bangkit dari Krisis

Kisah Pengusaha Kaca Ukir yang Bangkit dari Krisis

Kisah Pengusaha Kaca Ukir yang Bangkit dari Krisis
ilustrasi Foto: runic.com

DIDIK Wachyudi yang mengembangkan usaha ukir kaca dengan bendera Keramat Art Glass kini memiliki usaha lumayan besar. Bagi pria yang kini tinggal di Jalan Sucipto Situbondo ini, tidak mudah menapaki jalan menuju kesuksesan.

“Pada 1995, saya sudah memulai usaha mebel, tapi pada 1998 terimbas krisis moneter sehingga usaha itu gulung tikar,” kata Didik Wachyudi.

Dia lalu mencoba bangkit lagi pada 2003 dengan menekuni bidang usaha kaca ukir. Usaha itu ternyata terus berkembang. Pembuatan aksesori seperti kaca jendela dan pintu rumah juga dikerjakan meski saat itu pemasarannya hanya berdasarkan pemesanan.

Kemudian, Didik berupaya melakukan inovasi dalam pemasaran. Dia menggandeng toko penjual kaca. Toko penjual kaca mempromosikan usaha Didik. Begitu pun sebaliknya. Jika ada orang berniat membeli kaca, Didik mengarahkan ke toko langganannya itu.

Adapun jika ada orang yang datang ke toko dan berminat pada kaca ukir, pemilik toko mengarahkan untuk membeli ke Didik Wachyudi. Pengembangan usaha kaca ukir yang digeluti Didik perlahan merambah ke art glass, yakni kerajinan ukir kaca dengan nilai seni tinggi.

“Pesanan mulai meningkat, dari papan nama pejabat atau karyawan swasta hingga bingkai foto keluarga,” ujar suami Dian Herijani ini.

Didik mengungkapkan, proses pembuatan kaca ukir memang tidak mudah, tapi bisa dipelajari. Dia mempelajarinya dari buku maupun internet. Dalam memproses kaca ukir, Didik menggunakan mata bor yang sangat kecil, terutama ketika memproduksi kaca ukir yang desainnya cukup rumit dan tidak membutuhkan produksi terlalu banyak.

Adapun untuk produksi dalam jumlah besar, Didik menggunakan sand blasting, teknik semburan pasir kwarsa dan pasir besi. Sebelum pengukiran dengan teknik ini, kaca terlebih dahulu didesain dan dilukis tahap awal.

Bahan baku pasir kwarsa putih didatangkan dari Tuban, sedangkan pasir besi dari Lumajang. “Soal kendala, memang besar karena risiko tidak jadi juga sangat besar. Untuk itu, karyawan harus hati-hati dan mengerjakan sesuai dengan desain maupun pesanan. Kalau ada pelanggan komplain yaharus kita ganti,” terangnya.

Kendala lain yang dihadapi terkait permodalan, khususnya jika dia menerima pesanan dalam jumlah besar. Didik menuturkan, untuk memproduksi kaca ukir, awalnya dia menggunakan mesin kecil seharga Rp12 juta dengan produksi 1–1,5 meter.

Usahanya makin berkembang ketika dia mendapatkan modal dari Bank BRI. Awalnya, dia berkenalan dengan seorang pegawai Bank BRI Situbondo.

“Dia saat itu pesan kaca ukir dan kemudian puas dengan hasil kaca ukir yang saya buat. Lama-lama dia memesan banyak dan kemudian saya ditawari modal kemitraan untuk wirausaha kecil dan menengah dari Bank BRI,” ujarnya.

Didik lalu mendapat pinjaman Bank BRI sekira Rp20 juta. Pinjaman modal digunakan untuk membeli mesin yang bisa menghasilkan kaca ukir berukuran dua meter.

Didik mengaku sangat mudah mendapatkan pinjaman dari Bank BRI. “Saya langsung teken di rumah, termasuk pengisian formulir. Account officer juga datang melihat perkembangan usaha saya,” katanya.

Selain itu, Bank BRI memberi fasilitas lain seperti mengikutsertakan debitor pada berbagai pameran. Pada 24–28 Maret 2010, Didik diikutkan pameran di Jakarta Convention Center setelah melalui seleksi perajin se-Jawa Timur (Jatim).

Keramat Art Glass menjadi salah satu wakil Jatim bersama peserta lain dari Kabupaten Mojokerto dan Malang. “Sekarang Alhamdulillah kami ada kontrak dengan galeri seni terkemuka,” ungkapnya.

Sebelum menjalin kemitraan dengan Bank BRI, Didik mengakui usahanya hanya sebatas seni ukir kaca. Namun setelah dibantu Bank BRI, dia bisa mengembangkan usaha hingga merambah bisnis pembuatan suvenir kerajinan tangan seperti gelang dan kalung berbahan baku dari biota laut.

“Alhamdulillah sekarang di desa kami di Talkandang ada dua plasma yang memiliki usaha padat karya dan bekerja sama dengan usaha kami,” tutur Didik.

Berkat kerja sama dengan Bank BRI pula kini semua order bisa direalisasikan. Bahkan produksinya kini meningkat dari 1-2 buah per hari menjadi 5-10 kaca ukir per hari.

Produksi kaca ukir hingga 10 buah per hari,panjang rata-rata dua meter per buah, keuntungan yang diperoleh Didik bisa mencapai jutaan rupiah per hari.

Didik menegaskan, selain dukungan modal dari Bank BRI, kesuksesan yang dia raih juga berkat motivasi yang kuat untuk maju serta kemauan bekerja keras. Berkat usaha yang ditekuni,Didik mampu menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

“Anak saya yang pertama, Sona Aisyah Yuliani, kuliah di Teknik Sipil Universitas Negeri Jember, lalu Shela Aisyah Yuliani kini sudah kelas 3 SMA dan ingin kuliah mengambil jurusan seni desain interior di Institut Teknologi Bandung (ITB).Adapun yang masih kecil sudah kelas 5 sekolah dasar,” tuturnya. (p juliatmoko/Koran SI)(adn)
(rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar